

ORGANISASI
PERGERAKAN
NASIONAL
O
L
E
H
AFDANIL
IHSAN
BUDI UTOMO
Organisasi Budi
Utomo lahir pada tanggal 20 Mei 1908 dan menjadi tonggak permulaan pergerakan
nasional di Indonesia. Pada awal berdirinya, organisasi Budi Utomo hanya
bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial budaya. Organisasi ini mendirikan
sejumlah sekolah yang bernama Budi Utomo dengan tujuan berusaha memelihara
serta memajukan kebudayaan Jawa. Anggota Budi Utomo terdiri dari kalangan atas
suku Jawa dan Madura
Budi Utomo memiliki sejumlah tokoh penting, antara lain: Dr. Sutomo, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Gunawan Mangunkusumo. Sejak tahun 1915 organisasi Budi Utomo bergerak di bidang politik. Gerakan nasionalisme Budi Utomo yang berciri politik dilatari oleh berlangsungnya Perang Dunia I. Peristiwa Perang Dunia I mendorong pemerintah kolonial Hindia-Belanda memberlakukan milisi bumiputera, yaitu wajib militer bagi warga pribumi.
Dalam
perjuangannya di bidang politik, Budi Utomo memberi syarat untuk pemberlakuan
wajib militer tersebut. Syarat tersebut adalah harus dibentuk terlebih dulu
sebuah lembaga perwakilan rakyat (Volksraad). Usul Budi Utomo disetujui oleh
Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum sehingga terbentuk Volksraad pada tanggal
18 Mei 1918. Di dalam lembaga Volksraad terdapat perwakilan organisasi Budi
Utomo, yaitu Suratmo Suryokusomo.
Menyadari arti
penting manfaat organisasi pergerakan bagi rakyat, maka pada tahun 1920
organisasi Budi Utomo membuka diri untuk menerima anggota dari kalangan
masyarakat biasa. Dengan bergabungnya masyarakat luas dalam organisasi Budi
Utomo, hal ini menjadikan organisasi tersebut berfungsi menjadi pergerakan
rakyat. Kondisi ini dibuktikan dengan adanya pemogokan-pemogokan buruh untuk
menuntut kehidupan yang lebih baik.
Sejak tahun 1930
Budi Utomo membuka keanggotaannya untuk semua bangsa Indonesia. Dalam bidang
politik, Budi Utomo memiliki cita-cita untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
Dengan demikian, Budi Utomo telah berkembang menjadi sebuah organisasi dengan
sifat dan tujuan nasionalisme.
Untuk mencapai
tujuan tersebut, pada tahun 1935 Budi Utomo menggabungkan diri dengan Partai
Bangsa Indonesia (PBI) yang didirikan oleh Dr. Sutomo. Hasil peleburan Budi
Utomo dan PBI adalah Partai Indonesia Raya (Parindra) yang diketuai oleh Dr.
Sutomo.
Indische Partij
Indische
Partij (IP) didirikan oleh Ernest Francois Douwes Dekker (Danudirjo Setyabudi),
dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat di Bandung pada tanggal 25
Desember 1912. Mereka terkenal dengan sebutan Tiga Serangkai. Sebelum membentuk
Indische Partij, mereka telah memropagandakan Hindia untuk Hindia. Douwes
Dekker ingin menanamkan perasaan kebangsaan terhadap orang-orang kulit putih
dan kulit berwarna yang lahir di Hindia Belanda (Indonesia). Ia ingin
menyatukan orang-orang kulit putih dan kulit berwarna............
Indische
Partij adalah organisasi yang pertama kali bergerak dalam bidang politik dengan
haluan asosiasi dan kooperatif. Untuk mewujudkan cita-citanya, Indische Partij
dalam program kerja telah menetapkan langkah-langkah sebagai berikut:
1)
meresapkan cita-cita kesatuan nasional Hindia (Indonesia),
2)
memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan, baik di bidang pemerintahan
maupun kemasyarakatan,
3)
berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia,
4)
memperbesar pengaruh pro-Hindia di dalam pemerintahan,
5)
meningkatkan pengajaran yang kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan
ekonomi Hindia,
6)
memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat mereka
yang memiliki ekonomi lemah,
7)
memberantas usaha yang membangkitkan kebencian antara agama yang satu dan agama
lainnya.
Pasal-pasal
itu pula yang membuktikan bahwa Indische Partij merupakan partai politik yang
pertama muncul di Indonesia. Dalam waktu singkat IP mempunyai 30 cabang dengan
anggota lebih dari 7.000 orang. Karena Indische Partij bersifat progresif
dengan tujuan ingin merdeka, pemerintahan Hindia Belanda cemas dan bersikap
tegas. Permohonan Indische Partij untuk mendapat pengakuan sebagai badan hukum
pada bulan Maret 1913 kepada pemerintah kolonial Belanda ditolak. Alasannya,
organisasi itu bersifat politik dan mengancam keamanan umum. Meskipun kemudian
ada perubahan dalam anggaran dasarnya, permohonan Indische Partij untuk
berbadan hukum tetap ditolak.
Dokter
Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat selain memimpin Indische Partij
juga memimpin suatu lembaga yang diberi nama Komite Bumiputra. Komite itu
memohon kepada Raja Belanda agar pemerintah mencabut peraturan tentang hukuman
terhadap orang pribumi yang dicurigai bermaksud jahat. Dokter Cipto
Mangunkusumo juga menulis tentang sejarah dan filsafat bangsa Jawa.
Suwardi
Suryaningrat mengecam pemerintah Belanda dengan menulis artikel yang berjudul
Als Ik eens Nederlander was yang berarti Seandainya Aku Seorang Belanda. Akibat
tulisan tersebut, Belanda menjatuhkan hukuman pengasingan kepada ketiganya.
Douwes Dekker diasingkan ke Timor, dr Cipto Mangunkusumo diasingkan ke Banda,
dan Suwardi Suryaningrat diasingkan ke Bangka. Hukuman itu kemudian diubah.
Ketiganya boleh memilih tempat pengasingan ke luar negeri. Mereka akhirnya
memilih Negeri Belanda. Akibat pengasingan tersebut pengikut dan pendukung
Indische Partij bubar dan banyak yang masuk ke dalam perkumpulan Insulinde,
yakni organisasi peranakan Eropa dan orang Eropa yang ingin tetap tinggal di
Hindia.
Pada
tahun 1918, tokoh Tiga Serangkai diperbolehkan pulang ke Tanah Air. Di Tanah
Air, ketiga tokoh tersebut segera bergabung dengan Insulinde dan mempunyai
pengaruh besar di dalamnya. Akhirnya, perkumpulan itu dapat menjadi partai yang
berjuang menuju kemerdekaan. Oleh karena pengaruh SI sangat kuat menyebabkan
Partij Insulinde makin lemah. Dengan perkembangan baru tersebut, pada bulan
Juni 1919 Partij Insulinde diubah namanya menjadi National Indische Partij (NIP).
Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker kembali menjadi pengurus besarnya.
National
Indische Partij menyusun anggaran dasar baru. Maksud dan tujuan organisasinya
hampir sama dengan Indische Partij sehingga pada tahun 1923 National Indische
Partij dilarang beraktivitas politik pemerintah Belanda. Pemimpin partai
kemudian memutuskan tidak akan mendirikan partai lagi dan menganjurkan supaya
para anggotanya memasuki salah satu partai yang ada untuk melanjutkan
perjuangan.
Douwes
Dekker dan Suwardi Suryaningrat melanjutkan perjuangan melalui jalur
pendidikan. Douwes Dekker membuka perguruan nasional dengan nama Kesatrian
Institut setingkat SD di Pasir Kaliki, Bandung. Suwardi Suryaningrat pada tahun
1922 mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Setelah mendirikan Taman
Siswa, Suwardi Suryaningrat lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.
Dokter Cipto Mangunkusumo melanjutkan perjuangan politik secara bebas dan
menerbitkan surat kabar berbahasa Jawa yang bernama Panggugah
Sarekat
Islam
Sarekat Islam
pada awalnya adalah perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang diberi nama
Sarekat Dagang Islam. Perkumpulan ini didirikan oleh Haji Samanhudi tahun 1911
di kota Solo. Perkumpulan ini semakin berkembang pesat ketika Tjokroaminoto
memegang tampuk pimpinan dan mengubah nama perkumpulan menjadi Sarekat Islam.
Sarekat Islam (SI) dapat dipandang sebagai salah satu gerakan yang paling
menonjol sebelum Perang Dunia II.
Pendiri Sarekat
Islam, Haji Samanhudi adalah seorang pengusaha batik di Kampung Lawean (Solo)
yang mempunyai banyak pekerja, sedangkan pengusaha-pengusaha batik lainnya
adalah orang-orang Cina dan Arab.
Tujuan utama SI
pada awal berdirinya adalah menghidupkan kegiatan ekonomi pedagang Islam Jawa.
Keadaan hubungan yang tidak harmonis antara Jawa dan Cina mendorong
pedagang-pedagang Jawa untuk bersatu menghadapi pedagang-pedagang Cina. Di
samping itu agama Islam merupakan faktor pengikat dan penyatu kekuatan
pedagang-pedagang Islam.
Pemerintah
Hindia Belanda merasa khawatir terhadap perkembangan SI yang begitu pesat. SI
dianggap membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda, karena mampu
memobilisasikan massa. Namun Gubernur Jenderal Idenburg (1906-1916) tidak
menolak kehadiran Sarekat Islam. Keanggotaan Sarekat Islam semakin luas.
Pada kongres
Sarekat Islam di Yogayakarta pada tahun 1914, HOS Tjokroaminoto terpilih
sebagai Ketua Sarekat Islam. Ia berusaha tetap mempertahankan keutuhan dengan
mengatakan bahwa kecenderungan untuk memisahkan diri dari Central Sarekat Islam
harus dikutuk dan persatuan harus dijaga karena Islam sebagai unsur penyatu.
Politik
Kanalisasi Idenburg cukup berhasil, karena Central Sarekat Islam baru diberi
pengakuan badan hukum pada bulan Maret 1916 dan keputusan ini diambil ketika ia
akan mengakhiri masa jabatannya. Idenburg digantikan oleh Gubernur Jenderal van
Limburg Stirum (1916-1921). Gubernur Jenderal baru itu bersikap agak simpatik
terhadap Sarekat Islam.
Namun sebelum
Kongres Sarekat Islam Kedua tahun 1917 yang diadakan di Jakarta muncul aliran
revolusionaer sosialistis yang dipimpin oleh Semaun. Pada saat itu ia menduduki
jabatan ketu pada SI lokal Semarang. Walaupun demikian, kongres tetap
memutuskan bahwa tujuan perjuangan Sarekat Islam adalah membentuk pemerintah
sendiri dan perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat. Dalam
Kongres itu diputuskan pula tentang keikutsertaan partai dalam Voklsraad. HOS
Tjokroaminoto (anggota yang diangkat) dan Abdul Muis (anggota yang dipilih)
mewakili Sarekat Islam dalam Dewan Rakyat (Volksraad).
Pada Kongres Sarekat
Islam Ketiga tahun 1918 di Surabaya, pengaruh Sarekat Islam semakin meluas.
Sementara itu pengaruh Semaun menjalar ke tubuh SI. Ia berpendapat bahwa
pertentangan yang terjadi bukan antara penjajah-penjajah, tetapi antara
kapitalis-buruh. Oleh karena itu, perlu memobilisasikan kekuatan buruh dan tani
disamping tetap memperluas pengajaran Islam. Dalam Kongres SI Keempat tahun
1919, Sarekat Islam memperhatikan gerakan buruh dan Sarekat Sekerja karena hal
ini dapat memperkuat kedudukan partai dalam menghadapi pemerintah kolonial.
Namun dalam kongres ini pengaruh sosial komunis telah masuk ke tubuh Central
Sarekat Islam (CSI) maupun cabang-cabangnya. Dalam Kongres Sarekat Islam kelima
tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap kebijaksanaan Central Sarekat
Islam yang menimbulkan perpecahan.
Rupanya benih
perpecahan semakin jelas dan dua aliran itu tidak dapat dipersatukan kembali.
Dalam Kongres Luar Biasa Central Sarekat Islam yang diselenggarakan tahun 1921
dibicarakan masalah disiplin partai. Abdul Muis (Wakil Ketua CSI) yang menjadi
pejabat Ketua CSI menggantikan Tjokroaminoto yang masih berada di dalam
penjara, memimpin kongres tersebut. Akhirnya Kongres tersebut mengeluarkan
ketetapan aturan Disiplin Partai. Artinya, dengan dikeluarkannya aturan tersebut,
golongan komunis yang diwakili oleh Semaun dan Darsono, dikeluarkan dari
Sarekat Islam. Dengan pemecatan Semaun dari Sarekat Islam, maka Sarekat Islam
pecah menjadi dua, yaitu Sarekat Islam Putih yang berasaskan kebangsaan
keagamaan di bawah pimpinan Tjokroaminoto dan Sarekat Islam Merah yang
berasaskan komunis di bawah pimpinan Semaun yang berpusat di Semarang.
Pada Kongres
Sarekat Islam Ketujuh tahun 1923 di Madiun diputuskan bahwa Central Sarekat
Islam digantikan menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). dan cabang Sarekat Islam
yang mendapat pengaruh komunis menyatakan diri bernaung dalam Sarekat Rakyat
yang merupakan organisasi di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada periode
antara tahun 1911-1923 Sarekat Islam menempuh garis perjuangan parlementer dan
evolusioner. Artinya, Sarekat Islam mengadakan politik kerja sama dengan
pemerintah kolonial. Namun setelah tahun 1923, Sarekat Islam menempuh garis
perjuangan nonkooperatif. Artinya, organisasi tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah kolonial, atas nama dirinya sendiri. Kongres Partai Sarekat Islam
tahun 1927 menegaskan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai kemerdekaan
nasional berdasarkan agama Islam. Karena tujuannya adalah untuk mencapai
kemerdekaan nasional maka Partai Sarekat Islam menggabungkan diri dengan
Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Pada tahun 1927
nama Partai Sarekat Islam ditambah dengan “Indonesia” untuk menunjukan
perjuangan kebangsaan dan kemudian namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia
(PSII). Perubahan nama itu dikaitkan dengan kedatangan dr. Sukiman dari negeri
Belanda. Namun dalam tubuh PSII terjadi perbedaan pendapat antara Tjokroaminoto
yang menekankan perjuangan kebangsaan di satu pihak, dan di pihka lain dr.
Sukiman yang menyatakan keluar dari PSII dan mendirikan Partai Islam Indonesia
(PARI). Perpecahan ini melemahkan PSII. Akhirnya PSII pecah menjadi PSII
Kartosuwiryo, PSII Abikusno, PSII, dan PARI dr. Sukiman
Jong Sumatranen Bond
Suatu organisasi kedaerahan yang
didirikan oleh pemuda-pemuda Sumatera di Jakarta pada tanggal 9 Desember 1917.
Bertujuan menanamkan kepedulian terhadap kebudayaan sendiri dan memperkokoh
hubungan murid sekolah menengah dari Sumatera. Organisasi tersebut muncul
sebagai wujud kesadaran di kalangan pelajar-pelajar di Jakarta yang berasal
dari Sumatera akan pentingnya organisasi, dan adanya rangsangan yang timbul
setelah terbentuknya Jong Java, sehingga membuat mereka tergerak pula untuk
mendirikan organisasi pemuda.
Jong Sumateranen Bond dijadikan
sarana untuk memperkokoh hubungan antara sesama pelajar Sumatera di Jakarta,
untuk menanam keinsyafan bahwa mereka nantinya menjadi pemimpin, dan untuk
membangkitkan perhatian terhadap adat istiadat, seni, bahasa, kerajinan, pertanian,
dan sejarah Sumatera. Usaha-usaha yang dilakukan organisasi ini adalah
menghilangkan perasaan prasangka etnis di kalangan orang Sumatera, memperkuat
perasaan saling membantu, dan mengangkat derajat penduduk Sumatera dengan jalan
mengadakan kursus-kursus, ceramah-ceramah, dan propaganda-propaganda. Selain
itu juga menerbitkan publikasi-publikasi yang diberi nama Jong Sumatera.
Jong Sumateranen Bond ternyata
diterima oleh pemuda-pemuda Sumatera yang berada di kota-kota lain. Pada awal
berdirinya, organisasi ini beranggotakan 150 orang. Satu tahun kemudian, jumlah
ini meningkat menjadi 500 orang. Selain di Jakarta sebagai pusatnya, juga
dibuka cabang di Padang dan Bukit Tinggi. Enam cabang organisasi mereka bentuk
di Jawa, yaitu di Jakarta, Bogor, Serang, Sukabumi, Bandung, Purworejo; dan dua
di Sumatera, yaitu di Padang dan Bukit tinggi. Pada bulan Juli 1919, Jong
Sumateranen Bond mengadakan bulan kongresnya di Padang, meskipun pengurus besar
organisasi tetap di Jakarta. Sejalan dengan makin menebalnya perasaan nasional
dan pemakaian bahasa "Melayu" di kalangan pemuda, nama organisasi
Jong Sumateranen Bond kemudian diganti menjadi Pemuda Sumatera. Dari kalangan
mereka inilah nantinya muncul tokoh-tokoh nasional seperti Mohammad Hatta,
Muhammad Yamin, dsb. Mohammad Hatta, setibanya di tanah air setelah memperoleh
gelar meester dari Sekolah Bisnis Rotterdam, menjabat sebagai sekretaris dan
bendahara Jong Sumateranen Bond pusat. Muhammad Yamin menjabat ketua Jong
Sumateranen Bond mempunyai peranan besar dalam memperkuat perasaan nasional,
khususnya di kalangan pemuda.
Organisasi ini bersama-sama dengan
organisasi pemuda lainnya berperan besar dalam menyatukan organisasi-organisasi
pemuda setelah lahirnya Sumpah Pemuda. Sesungguhnya, sebelum Sumpah Pemuda,
Jong Sumateranen Bond bersama-sama organisasi pemuda lainnya telah merintis
usaha untuk mempersatukan organisasi-organisasi pemuda. Pada tanggal 15
November 1925, diadakan pertemuan di Jakarta untuk membicarakan kemungkinan
diadakannya pertemuan pemuda yang mencakup berbagai organisasi pemuda. Dalam
pertemuan ini wakil dari Jong Sumateranen Bond, Jong Java, Jong Ambon, Jong
Minahasa, Sekar Rukun, dan beberapa peminat lainnya sepakat membentuk sebuah
panitia untuk mempersiapkan rapat besar pemuda. Panitia ini bertugas menggugah
semangat bekerja sama di antara berbagai organisasi pemuda Indonesia untuk
mewujudkan dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia. Jong Sumateranen Bond
menempatkan wakilnya duduk dalam kepanitiaan ini, yakni Jamaluddin Adinegoro
sebagai sekretaris panitia, Sarbaini dan Bahder Johan sebagai anggota pada
tanggal 30 April 1926 berhasil mengadakan rapat besar pemuda di Jakarta, yang
kemudian terkenal dengan nama Kongres Pemuda 1.
MUHAMMADIYAH
Pada awal abad ke 20 M dikalangan muslim Indonesia terpelajar mulai muncul kesadaran baru untuk mengatasi kondisi pendidikan islam di Indonesia yang mengalami keterbelakangan akibat tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang mencetak tenaga kerja terampil tetapi mengabaikan pendidikan moral peserta didik. Oleh karena itu, mereka mengupayakan mendirikan lembaga pendidikan islam yang bercorak modern.
Pada awal abad ke 20 M dikalangan muslim Indonesia terpelajar mulai muncul kesadaran baru untuk mengatasi kondisi pendidikan islam di Indonesia yang mengalami keterbelakangan akibat tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang mencetak tenaga kerja terampil tetapi mengabaikan pendidikan moral peserta didik. Oleh karena itu, mereka mengupayakan mendirikan lembaga pendidikan islam yang bercorak modern.
Salah satu lembaga pendidikan islam
yang bercorak modern adalah lembaga islam Muhammadiyah. Lembaga ini didirikan
oleh Ahmad Dahlan dengan tujuan mencerdaskan umat islam melalui pendidikan.
Karena Ahmad Dahlan termasuk anggota organisasi Budi Utomo maka sebelum
mendirikan lembaga pendidikan islam Muhammadiyah, beliau meminta restu kepada
Budi Utomo. Setelah itu, beliau membuka sekolah agama di rumahnya dengan nama
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiah.
Awal lembaga pendidikan islam ini berdiri hanya memiliki delapan orang murid. Karena penyampaian materi dari Ahmad Dahlan yang menarik, setiap bulan muridnya bertambah tiga orang. Melihat kemajuan pendidikan lembaga tersebut maka Budi Utomo memberikan bantuan berupa pengajar dan mulai saat itu ridak hanya ilmu agama tetapi ilmu pengetahuan pun diajarkan. Lembaga ini diresmikan tanggal 1 Desember 1911.
Melihat perkembangan lembaga pendidikan islam Muhammadiyah yang sangat baik, banyak yang menyarankan agar Ahmad Dahlan mendirikan suatu organisasi yang kelak akan menjadi penerus setelah Ahmad Dahlan tiada. Setelah direnungkan dan mendapatkan orang-orang yang siap membantu, maka pada tanggal 18 Dzulhijah 1331 H atau 18 Desember 1912 M didirikanlah oraganisasi yang bernama Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan.
Dalam usaha mendapatkan pengakuan kepala pemerintah sebagai badan hukum, pada tanggal 20 Desember 1912, Muhammadiyah dibantu oleh Budi Utomo mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar Muhammadiyah diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Untuk itu Gubernur Jenderal mengirimkan surat permintaan pertimbangan kepada Direktur Van Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengku Buwono VI.
Setelah melalui proses yang cukup lama, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum yang tertua dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus 1914, Nomor 81, beserta lampiran statutennya dan berlaku mulai 22/23 Januari 1915.
Awal lembaga pendidikan islam ini berdiri hanya memiliki delapan orang murid. Karena penyampaian materi dari Ahmad Dahlan yang menarik, setiap bulan muridnya bertambah tiga orang. Melihat kemajuan pendidikan lembaga tersebut maka Budi Utomo memberikan bantuan berupa pengajar dan mulai saat itu ridak hanya ilmu agama tetapi ilmu pengetahuan pun diajarkan. Lembaga ini diresmikan tanggal 1 Desember 1911.
Melihat perkembangan lembaga pendidikan islam Muhammadiyah yang sangat baik, banyak yang menyarankan agar Ahmad Dahlan mendirikan suatu organisasi yang kelak akan menjadi penerus setelah Ahmad Dahlan tiada. Setelah direnungkan dan mendapatkan orang-orang yang siap membantu, maka pada tanggal 18 Dzulhijah 1331 H atau 18 Desember 1912 M didirikanlah oraganisasi yang bernama Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan.
Dalam usaha mendapatkan pengakuan kepala pemerintah sebagai badan hukum, pada tanggal 20 Desember 1912, Muhammadiyah dibantu oleh Budi Utomo mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar Muhammadiyah diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Untuk itu Gubernur Jenderal mengirimkan surat permintaan pertimbangan kepada Direktur Van Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengku Buwono VI.
Setelah melalui proses yang cukup lama, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum yang tertua dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus 1914, Nomor 81, beserta lampiran statutennya dan berlaku mulai 22/23 Januari 1915.
Jong Java
Berbicara tentang perhimpunan
pelajar yang pertama dan yang terbesar di tanah Jawa, adalah Jong Java ). Pada
tahun 1915 pelajar STOVIA Satiman Wirjosandjojo mengambil inisiatif mendirikan
perhimpunan untuk para pelajar pendidikan menengah dan lanjut. Mahasiswa
kedokteran ini untuk pertama kali menjadi berita tahun 1912, ketika ia dengan
keras memprotes peraturan tentang pakaian di sekolah kedokteran di Batavia.
Para pelajar Jawa waktu itu diwajibkan mengenakan jarik (kain) dan udheng (ikat kepala). Di atas udheng itu dikena-kan topi berlambang kedokteran. Suatu pemandangan yang menggelikan, karenanya calon-calon dokter yang biasanya berasal dari kalangan priyayi itu dicemoohkan orang sebagai "kondektur trem". Satiman berjuang agar para pelajar dapat mengenakan "pakaian bebas". Dalam praktek itu berarti hak untuk berpakaian sebagai orang Barat. Sesudah lama dipertim-bangkan, akhirnya direktur STOVIA memutuskan untuk meluluskan permohonan itu, terutama karena ternyata pakaian Barat agak lebih murah daripada pakaian Jawa. Dengan sendirinya waktu itulah kaum elit yang baru muncul dan berpendidikan baik itu di masa studi dan sesudahnya mulai membedakan diri secara lahiriah dari orang-orang setanah airnya dengan menggunakan gaya pakaian si penjajah. Para pelajar STOVIA itu adalah orang-orang yang sadar akan kelas dan statusnya, dan antara sesamanya mereka berbicara Belanda. Ini tidak berarti bahwa rnereka mencampakkan budaya Jawa. Satiman justru ingin menghidupkan kembali budaya itu. Tang-gal 7 Maret 1915 bersama dengan Kadarman dan Soenardi ia mendirikan Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) yang menjadi pendahulu Jong Java. Yang menjadi anggota pertamanya adalah lima puluh pelajar STOVIA, Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sari (Weltevreden), dan Koningin Wilhelmina School (KWS). Ketiga tujuan mulia itu adalah: "Mengadakan hubungan antara para pelajar Pribumi yang be-lajar di sekolah-sekolah tinggi dan menengah, dan juga di kursus-kursus pendidikan lanjut dan vak. Membangkitkan dan meningkatkan minat terhadap kesenian dan bahasa Nasional. Memajukan pengetahuan umum para anggota." (diambil dari JongJava's Jaar-boekje 1923: 115-16). Tujuan itu menyatukan dua prinsip dasar yang hidup di kalang-an pemuda itu. Yang pertama adalah perlunya edukasi, pengetahuan, pendidikan. Ini berarti pertama-tama pengetahuan Barat yang merupakan prasyarat mutlak kemajuan masyarakat Jawa. Pengetahuan mengenai ilmu dan teknologi Barat, pengetahuan tentang bahasa-bahasa Eropa merupakan kunci kemajuan. Yang kedua adalah cinta kepada budaya Jawa. Para pemuda priyayi itu menaruh hormat kepada tradisi Jawa, budaya nenek-moyang yang pernah menjadi penguasa-penguasa perkasa kerajaan Majapahit dan Mataram. Sebagaimana semua priyayi yang lain, mereka sadar sedang hidup di Jaman Edan (}a-man Gila), ketika kesenian Jawa tenggelam. Sebagaimana para anggota Comite voor het Javaans Nationalisme mereka menaruh minat yang besar terhadap budaya Jawa, mendambakan sekali pulihnya Jawa masa lalu. Ketua Satiman mengecam para pemuda Jawa yang untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut mereka pergi ke Eropa dan berusaha menjadi orang Barat. Budaya sendiri mereka buang dan lupakan. Satiman membayangkan keadaan budaya jawa itu sebagai tanah bera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar