Khilafah dan Khalifah
Gerakan
Khilafat
Pada
tahun 1920-an "gerakan Khilafat", sebuah gerakan yang bertujuan untuk
mendirikan kembali kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah jajahan Inggris
di Asia.
Gerakan ini sangat kuat di India, yang saat itu menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah
pertemuan kemudian diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian
Kekhalifahan. Tapi sayang, sebagian besar negara mayoritas Muslim tidak
berpartisipasi dan mengambil langkah untuk mengimplentasikan hasil dari
pertemuan ini. Meskipun gelar Amir al-Mukmin dipakai oleh Raja Maroko
dan Mullah Mohammed Omar,
pemimpin rezim Taliban di Afganistan, kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak
untuk mengakuinya. Organisasi yang mendekati bentuk sebuah bentuk kekhalifahan
saat ini adalah Organisasi
Konferensi Islam atau OKI, sebuah organisasi internasional
dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan
negara-negara mayoritas Muslim.
Perbandingan
kekhalifahan dengan sistem pemerintahan lain
Khalifah
sangat berbeda dari sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia, seperti
disebutkan di bawah ini:
- Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Jabatan khalifah didapatkan dengan bai'at dari umat secara ikhlas dan diliputi kebebasan memilih, tanpa paksaan. Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang khalifah tak memiliki hak istimewa; mereka sama dengan rakyatnya. Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibaiat buat menerapkan syariat Allah SWT atas mereka. Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum islam dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat.
- Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum Islam, dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazhalim. Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu, sebaliknya, seorang khalifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum Islam atau tidak. Selama masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi khalifah.
Argumentasi
tentang Pentingnya Khalifah
Berdasarkan
Dalil Al-Qur'an
Di
dalam al-Quran
memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di
dalam al-Quran
terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil
amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan
Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah
dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat
di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim
(Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha, berarti perintah
pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu
tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk menaati pihak
yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk
menaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
Maka
menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala
Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan
pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya
kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri
menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah
wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara
yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di
samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan
kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah
SWT:
Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan
apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan)
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah
[5]: 48).
Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan
apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
(Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam
kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada
Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil
yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli
khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini
tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah
SAW.
Oleh
karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat
Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna
lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan
pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara
sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah
negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.
Dalil
as-Sunnah tentang Khalifah
- Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].
- Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
- Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
- Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
- Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Hadis
pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW
bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada
penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW
bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang
adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan
(thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan
Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud
adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan
larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu)
maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al
fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan
tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum
syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti
(fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab
tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadis
ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang)
dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab
kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa
orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini
menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah
wajib.
Rasulullah
SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah),
lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia
mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut
kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].
Dalam
hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para
Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah
Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan
memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut
kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan
penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib,
nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk
memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan
merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan
demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya
Khalifah bagi kaum muslimin.
Dalil
Ijma’ Sahabat
Sebagai
sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang
Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah
sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar,
Umar bin Khathtab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’
Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam
kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan
mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal
menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas
orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan
lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan
pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih
mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah
Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat
Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan
jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan
mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya
kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat
Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika
status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada
menguburkan jenazah.
Demikian
pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai
kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat
mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun
mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya
mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika
pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat
merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
Dalil
Dari Kaidah Syar’iyah
Ditilik
dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih
dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang
tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula
keberadaannya."[rujukan?]
Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah
SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat
dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh
seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi
Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah,
berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah
merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
Pendapat
Para Ulama
Seluruh
imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan
wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan
hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V,
hal. 416:
"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan
Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib
adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang
akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas
dari yang menindasnya..."
Tidak
hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh
kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan Mu’tazilah) tanpa
kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada
segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak
perlu dianggap, karena bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.
Imam
Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan:
"Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah)
adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal
Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus
Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai
wajibnya Imamah (Khilafah)."
Bahwa
Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan haram apalagi
bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya.
Berikut ini sekelumit saja referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam
Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush
Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu
Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil
I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir
Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah,
hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi,
Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah,
hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al
Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham
Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75,
Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar