Siak
Nama Siak sudah tercantum dalam Negarakertagama sebagai
daerah yang ditaklukkan Majapahit pada tahun 1365 M. Pada mulanya Raja Siak
mengaku sebagai keturunan Nila Pahlawan, saudara Nila Utama, yaitu makhluk yang
turun di Bukit Siguntang Mahameru. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyursyah
Akbar (1458–1477 M)di Melaka, kerajaan Siak diperintah seorang raja yang masih
beragama Hindu bernama Maharaja Permaisura. Siak ditaklukkan oleh ekspedisi
militer Melaka yang dikepalai oleh Khoja Baba yang berasal dari India dan
bergelar Ichtiar Muluk.
Putra Maharaja Permaisura yang bernama Megat Kudu diislamkan
dan dinikahkan dengan Raja Dewi, putri Raja Melaka, kemudian
dinobatkan/ditabalkan sebagai Sultan Siak bergelar Sultan Ibrahim. Dari
pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdullah dan bergelar Sultan Khoja
Ahmadsyah. Sultan Ahmadsyah menggantikan ayahnya sebagai Raja Siak. Raja
Abdullah berputra tiga orang, yaitu Raja Jamal, Biyazid, dan Raja Isap. Jamal
dan Biyazid tinggal di Bintan. Biyazid kemudian bergelar Gocah Pahlawan, yang
merupakan gelar Laksamana Khoja Bintan. Raja Isap kemudian bergelar Marhom
Kasab dan menikah dengan Putri Fatimah, anak Sultan Mansursyah atau cucu Raja
Sulong bin Raja Mahmud (Ahmad), yang merupakan cikal bakal dinasti Sultan Perak
yang awalnya diangkat oleh Aceh.
Pada saat Melaka diperintah Sultan Alauddin Riayatsyah I,
Raja Siak ingin melepaskan diri dari Melaka dengan cara menghukum mati seorang
terpidana tanpa meminta izin Melaka. Mendengar kejadian ini Sultan Melaka mengirim
Laksamana Hang Tuah yang kemudian menuding Bendahara Siak Tun Jana Pakibul di
depan majelis sambil berkata, “Tuanku, nampak-nampaknya di sekeliling Tuanku,
orang-orang tua yang tidak tahu adat, tidak ingat semua hukuman bunuh harus
minta izin Melaka dahulu”. Raja Siak lalu meminta maaf.
Rokan
Rokan merupakan kerajaan Melayu tua yang terletak di
Sumatera Timur. Dalam Sejarah Melayu disebutkan bahwa putra dan pengganti
Sultan Maharaja Muhammadsyah Melaka bernama Raja Ibrahim yang sejak kecil
dipengaruhi oleh nenek dari pihak ibu, yaitu Raja Rokan, sehingga ketika
menjadi raja bergelar Sultan Sri Parameswara Dewa Syah (1445–1450 M). Ketika ia
masih kecil pemerintahan dipangku oleh neneknya, Raja Rokan, yang konon
bertindak sesuka hatinya sehingga dibenci Melaka. Saudara sultan bernama Raja
Kasim. Dengan restu Bendahara, dia merebut tahta dan membunuh Sri Parameswara
Dewa Syah dan neneknya. Setelah itu Bendahara memproklamasikan dirinya menjadi
Raja Melaka dan bergelar Sultan Muzafansyah (1450–1458 M).
Kampar
Negeri lain di Sumatera Timur yang termasuk tua adalah
Kampar. Kampar ditaklukkan oleh Melaka di bawah pimpinan Tun Mutahir dan harus
menerima instruksi langsung dari Melaka. Kampar sangat strategis, karena
merupakan jalur lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau. Dalam
Sejarah Melayu diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka, yaitu Sultan
Munawarsyah, telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun 1505 M. Dia kemudian
mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdullah. Kampar yang
dimaksudkan adalah Pelalawan yang kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada
mulanya yang menjadi raja adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut
legenda rakyat, negeri itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).
Sultan Abdullah Kampar kemudian menjadi menantu Sultan
Mahmudsyah Melaka. Walaupun menantu, dia tidak setia. Saat Portugis menyerang
dan menguasai Melaka pada tahun 1511 M dan mertuanya menjadi buronan Portugis,
Sultan Abdullah malah berbaikan dengan Portugis yang kemudian mengangkatnya
sebagai Bendahara orang-orang asing di Melaka.
Sultan Mahmudsyah yang saat itu bersemayam di Bintan
mengirim armada yang dikepalai menantunya yang lain, Raja Lingga, tetapi Kampar
diselamatkan oleh armada Portugis di bawah pimpinan Jorge Botelho, dan langsung
mengungsikan Abdullah ke Melaka. Kemudian Sultan Mahmudsyah menyebarkan kabar
angin ke Melaka, seakan-akan Abdullah secara rahasia mempersiapkan
pemberontakan terhadap Portugis. Mendengar berita ini orang Portugis curiga dan
termakan kabar tersebut, sehingga Abdullah ditangkap dan dihukum gantung di
Malaka. Kejadian ini membuktikan ketidaksetiaan Portugis dan merupakan tamsil
bagi Gubernur Jenderal Belanda, Pieter Both seperti termuat dalam suratnya
kepada Sultan Tidore tahun 1612 (Verhoeff, 1645). Sultan Mahmudsyah
dikejar-kejar Portugis dari Bintan, sehingga ia harus bertahan di Kampar
(Pelalawan) sampai mangkatnya pada tahun 1528 M (Marhum Kampar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar